Selasa, 25 Mei 2010

CERPEN: Adopsi

Karya ini dua tahun lalu saya buat. Iseng-iseng saya coba perbaiki dan saya posting disini. Berniat mengirimkan ke majalah, tapi belum sempat mencari tahu kira-kira majalah apa yang cocok ya... Sementara ini biarlah dinikamti oleh teman-teman terdekat dulu deh. Hehe... Monggo dibaca. Semoga ada hikmah yang bisa dipetik. :)


Raungan suara knalpot yang sangat familiar terdengar memasuki halaman. Menyusul suara pintu mobil yang dibanting cukup keras beberapa saat kemudian. Dan akhirnya, ketukan, oh bukan, tapi gedoran di pintu depan.
“Mas buka pintunyaaaa…!” teriakan itu membuat Aurel sedikit berjengit dari tidur lelapnya, meski tak sampai terbangun. Nancy tergopoh-gopoh keluar dari kamar Aurel dan berpapasan dengan Faisal di ruang tengah.
“Biar saya saja, Nancy!” ujar Faisal seraya menuju ruang depan untuk membukakan pintu. Meninggalkan Nancy yang bergeming cemas beberapa saat sebelum memutuskan untuk berbalik ke kamar anak asuhnya.
“Dari mana saja kamu jam segini baru pulang!” tegur Faisal ketika Kartika menyeruak masuk bahkan sebelum daun pintu sepenuhnya tersibak.
“Ada syuting,” sahutnya sambil terus mengeloyor masuk ke dalam tanpa menoleh sedikit pun pada Faisal yang mengekor tepat di belakangnya.
“Kamu tau kan ini jam berapa, Tika?” Faisal melontarkan pertanyaan retoris seperti biasa.
“Jam dua.”
“Pantaskah seorang istri baru pulang jam segini?” Amarah Faisal justru terpancing mendengar jawaban datar istrinya. Jam dua? Tolong, yang benar adalah jam dua PAGI.
“Aku kerja, Mas.” Kartika masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuhnya sejenak di atas tempat tidur, mengabaikan suaminya yang sibuk mengendalikan amarah.
“Sudahlah, Mas. Aku kan bukan melakukan kegiatan yang gak ada gunanya. Aku ini kerja. Cari uang,” tutur Kartika kalem. Ia bangun dan diambilnya handuk yang tersampir di atas tumpukan jubah mandi. Lalu masuk ke dalam kamar mandi. Meninggalkan Faisal dalam keadaan kalut.
Great. Kini kisah hidupnya sama persis seperti jalan cerita novel ibu-ibu.Ya, klise. Ini memang masalah klise. Seorang istri dengan karir yang cemerlang sehingga mengabaikan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga. Memang benar klise. Tapi siapapun akan berubah pikiran setelah mengalaminya sendiri, pikir Faisal pahit.
Ini bukan pertama kalinya terjadi. Setidaknya tiga kali dalam seminggu Kartika pulang larut malam. Pekerjaannya sebagai pemeran sinetron dan film mengharuskannya untuk selalu konsisten kapanpun ia dibutuhkan. Malah kadang, dalam beberapa hari ia tak pulang ke rumah karena harus syuting di luar kota. Faisal mengerti tuntutan pekerjaan yang dialami istrinya. Namun Faisal juga tak bisa terus-menerus seperti ini. Menjadi suami merangkap satpam jam dua pagi benar-benar bukan tugas yang asik. Belum lagi ocehan tetangga sana-sini. Tinggal tunggu waktu saja sebelum desas-desus perihal rumah tangganya sampai ke telinga orangtuanya yang tinggal tak begitu jauh.
Bagi Faisal, pekerjaan mencari nafkah adalah tugasnya, bukan istrinya. Sudah ribuan kali rasanya ia mengatakan itu pada istrinya. Toh pekerjaannya saat ini sebagai manajer pemasaran sudah menghasilkan pendapatan yang cukup.
“Mas! Mas pikir itu semua cukup untuk saya? Mas pikir mas bisa membiayai hidup saya? Untuk membeli sebuah tas tangan saja mungkin butuh setahun gaji mas!” teriak Kartika pada suatu malam kala mereka lagi-lagi bertengkar karena hal yang sama. Belakangan memang sepertinya tak ada topik lain yang lebih menarik ketimbang masalah ini.
Harga diri Faisal begitu terluka. Ia tahu, kehidupan macam apa yang dijalani istrinya. Kehidupan glamour bergelimang barang-barang branded yang sulit terjangkau oleh gaji Faisal yang standar menurut Kartika.
Namun Faisal bertahan. Lambat laun, ia membiarkan saja tingkah laku istrinya.
****
“Tika, malam ini, jangan pulang terlalu larut yah?” bujuk Faisal lembut. Pagi itu mereka duduk di meja makan untuk menyantap sarapan. Wajah Kartika terlihat kuyu karena ia belum cukup tidur sepulangnya dari syuting kemarin.
“Aku nggak tahu, Mas. Kan bukan aku yang mengatur.” Sahut Kartika sambil mengoleskan selai kacang pada lembaran rotinya. Ia tahu pasti apa maksud Faisal menyuruhnya pulang cepat. Raibnya pil-pil KB yang dikonsumsinya bisa jadi fakta pendukung.
Faisal menghela napas dengan berat.
“Lalu kapan kamu punya waktu buat aku? Buat Aurel? Coba batasi tawaran yang datang ke kamu, Tika. Kamu punya keluarga.”
Mendadak Kartika berhenti mengoleskan selai kacang pada rotinya. Dan tatapan matanya pun difokuskan secara tajam pada sang suami.
“Mas,” katanya. “Yang aku lakuin ini buat kita. Buat Aurel! Aku kerja banting tulang demi keluarga kita! Kamu pikir aku senang harus bekerja siang malam? Kamu pikir aku senang hanya mempunyai sedikit waktu untuk kalian?”
“Tapi kamu gak perlu melakukan semua itu kalau kamu bisa menerima hidup apa adanya dengan saya, Tika!” amarah Faisal mulai terjangkit. Roti yang baru memulai gigitan pertama ia lemparkan dengan gemas ke atas meja. Ia telah mencoba bersabar terhadap kelakuan istrinya beberapa hari terakhir ini. Namun wajar bukan kalau ia meminta satu kali saja istrinya meluangkan waktu untuknya apalagi jika waktu yang dimintanya tersebut memang sudah seharusnya tersedia tanpa diminta.
“Mas! Kamu tahu betapa mahalnya pendidikan sekarang ini? Bagaimana beberapa tahun kemudian! Apalagi katanya kamu ingin mempunyai anak lagi,” ujar Tika lebih lunak seraya mengolesi kembali rotinya.
Ya, Faisal menginginkan satu anak lagi. Siapa tahu saja dengan kehadiran anak kedua, Kartika akan lebih banyak meluangkan waktunya di rumah? Dulu, jauh sebelum pernikahan mereka, Kartika pernah bilang padanya, kalau ia ingin anak lelaki. Namun kini, Kartika berdalih masih belum siap karena masih disibukkan dengan karirnya. Dan lagipula, mereka kini jarang sekali mendapati waktu berdua. Kartika selalu pulang dalam keadaan lelah. Aurel saja sudah cukup rasanya untuk mereka, pikir Kartika.
Tapi suami mana yang tak emosi diperlakukan seperti itu? Ia masih sangat mampu membiayai anak dan istrinya. Kecuali kalau memang ia harus membelikan tas tangan yang harganya puluhan juta itu.
“Jadi kamu kerja untuk pendidikan anak-anak? Bukan demi tas tangan?” sindir Faisal pedas.
“Mas!”
“Udahlah, Tika. Apa salah kalau aku menginginkan seorang anak lagi?”
“Gak salah mas, tapi waktunya belum tepat!”
“Lalu kapan waktu yang tepat?”
Kartika nampaknya kini telah benar-benar kehilangan nafsu makannya. Ditaruhnya roti lapis yang belum sempat dicicipinya. Ia tersenyum miris dan mengejek.
“Mas ini apa sih? Kalau Mas mau, Mas saja yang hamil!” Kartika bangkit, menyambar tas Gucci besar di atas meja dan secepatnya meninggalkan Faisal yang melongo tak percaya.
“Ya! Memang segalanya dalam rumah ini telah terbalik!” teriak Faisal yang disambut raungan mesin mobil yang bergerak menjauh.
****
“Pak, Aurel kayaknya demam!” seru Nancy panik di ujung telepon sana. Sayup-sayup terdengar suara tangisan Aurel yang melengking. Membuat Faisal yang sedang berada di tengah-tengah rapat menjadi cemas setengah mati dan tak bisa konsentrasi pada materi presentasi hari itu.
“Kok bisa?” tanyanya ngawur. “Cepat hubungi Dokter Fajar!”
“Sudah, Pak. Tapi Dokter Fajar sedang ke luar kota!”
Aduh, kenapa ia bisa lupa, Dokter Fajar telah memberitahu tiga hari sebelum ini bahwa beliau akan berangkat ke Korea untuk satu minggu. Celaka, hanya dokter Fajar yang biasa dihubunginya.
“Kamu bawa ke rumah sakit aja Nancy, nanti saya nyusul!”
“I… iya, Pak…”
Faisal memutus teleponnya.
Setengah jam bagaikan setengah abad bagi Faisal. Sebelum ia melesat menuju parkiran untuk kemudian ke rumah sakit.
****
“Terimakasih, Nancy.”
“Untuk apa, Pak?”
“Karena kamu telah merawat anak saya dengan baik.” Jawab Faisal muram.
Aurel tengah tertidur pulas. Faisal duduk di bibir ranjang sementara Nancy duduk dekat dengan kepala Aurel, mengusap-usap kepala anak itu. Mereka telah kembali dari rumah sakit. Dan untungnya, keadaan Aurel tidak terlalu parah hingga ia tak perlu di opname. Dokter hanya memberikan beberapa resep obat untuk Aurel.
“Ah, itu kan memang tugas saya, Pak. Masa saya harus makan gaji buta,”jawab Nancy polos. Matanya menatap Faisal bingung. Seakan bertanya, memangnya apalagi tugasnya babysitter?
Faisal tertawa mendengar jawaban babysitter berusia 23 tahun yang duduk tak jauh darinya itu.
“Ah, iya. Tapi kamu melakukan tugasmu dengan sangat baik.” Faisal menekankan. Membuat wajah Nancy tersipu malu.
Faisal termenung. Ya, Nancy memang orang yang telah berjasa untuk keluarganya. Ia telah merawat Aurel seperti ibu kandungnya sendiri. Sementara ibunya sendiri, tak pernah menghiraukan keadaan Aurel. Ah, Kartika. Tak punyakah kau sedikit saja perhatian untuk anak dan suamimu? Bahkan Nancy pun lebih memilih ayahnya untuk dihubungi ketika Aurel sakit. Kerap beberapa kali Nancy menghubungi Kartika di kala Aurel mengalami hal serupa. Namun yang Nancy dapatkan hanyalah bentakan keras dari Kartika.
Dan wanita inilah yang selama ini mengurus Aurel dengan penuh kasih sayang.
Faisal menatap Nancy seperti baru pertama kali. Gadis yang masih sangat belia. Namun naluri keibuannya sangat kuat. Dan penuh kasih sayang. Kalau ia bisa mengurus Nancy, akankah ia juga bisa mengurus dirinya?
Ah, apa-apaan aku ini?
Digesuhnya jauh-jauh pikiran tersebut.
Namun saat malam menjelang, sesaat sebelum matanya terpejam, bayangan Nancy mengusap dahi Aurel begitu saja melintas. Dan sukses menjadi buah mimpi dalam tidurnya.
****
“Tika, sebaiknya Nancy kita panggil lagi. Aku tadi dapat telepon darinya. Ia menelepon kesini menanyakan kabar Aurel.”
Kartika melapas sepatu dan menaruh tasnya. Waktu telah menunjukkan pukul satu malam. Kepulangan yang relatif lebih cepat dibandingkan malam-malam sebelumnya. Namun mereka berdua kini tak lagi meributkannya. Untuk apa? Mereka berdua tahu bahwa perdebatan tak akan membuahkan hasil apa-apa. Faisal telah menyerah. Karena Kartika tetap tak akan bisa meninggalkan pekerjaan yang sangat dicintainya itu. Faisal pun tak lagi menuntut agar Kartika bersedia melahirkan satu orang anak lagi. Faisal tak ingin Kartika menelantarkan anaknya lagi. Dibiarkannya Kartika selalu minum pil KB setelah berhubungan.
Faisal sendiri malam itu masih terjaga. Ia sengaja menunggu Kartika pulang untuk membahas masalah itu.
“Lho, dipanggil lagi? Memangnya dia udah gak mengurusi kakaknya lagi? Dan bagaimana dengan Milah kalau Nancy dipanggil lagi?”
“Nancy tidak tinggal lagi di rumah kakaknya itu. Tadi ia mengabarkan bahwa kakaknya telah meninggal seminggu yang lalu.”
“Oh…”
Setahun sudah Nancy pergi dari rumah itu. Setelah keluarganya mengabarkan bahwa kakak tertua Nancy sakit keras dan tak ada lagi yang mengurusnya karena suami dan anaknya memang telah tiada akibat kecelakaan. Dan Nancy pun diminta untuk tinggal bersama kakaknya itu.
Awalnya Kartika sangat keberatan. Aurel pun menangis terus untuk beberapa malam. Namun Faisal mendukung kepergian Nancy. Toh mereka bisa mencari pengganti Nancy dengan mudah. Maka dengan berat hati Kartika dan juga Aurel melepaskan Nancy.
“Lalu bagaimana dengan Milah, Mas?” Kartika duduk di depan meja rias seraya mengoleskan pembersih wajah dan mengusapnya dengan kapas. Nampak warna coklat kemerahan menempel pada kapas.
“Hh…” desah Faisal. “Dia kerjanya ga becus. Beberapa hari lalu aku lihat dia memukul pantat Aurel.”
“Ah, itu sih biasa, Mas. Aurel memang sedang nakal-nakalnya!”
“Iya tapi kan Aurel seperti itu juga karena mungkin dia gak suka sama Milah. Dia sering datang sama aku dan mengadu. Akupun udah sering menegur Milah.”
“Lalu?” Kartika bangkit dan mengambil handuk. Ia membuang kapas-kapas kotor ke dalam tong sampah dekat pintu.
“Ya gak tahulah. Yang jelas aku lebih suka kalau yang mengurus anak-anak kita itu Nancy.”
Kartika yang baru saja hendak melangkahkan kakinya menuju kamar mandi mendadak berhenti. Ada sesuatu dalam kata-kata Faisal yang membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Namun ia mengabaikannya, dan menanyakan hal yang mungkin saja salah ia dengar.
“’Anak-anak’ kita?” tanyanya heran.
Faisal menegakkan posisinya. Ditatapnya istrinya dengan sorot mata tegas.
“Ya, anak-anak kita.”
Kartika melemparkan pandangan bingung.
“Aku berniat mengadopsi seorang anak lelaki. Aku rasa Aurel butuh teman bermain,” Ujar Faisal lalu membenamkan dirinya ke dalam selimut tebal dan memejamkan mata sebelum istrinya bertanya lebih jauh.
****
Pagi itu suasana di meja makan hampir sama seperti hari-hari sebelumnya. Suami istri Faisal dan Kartika duduk menikmati sarapan mereka: nasi goreng buatan Nancy. Nancy memang tak sekedar babysitter, ia juga yang menyiapkan makan. Meski Faisal lebih sering membeli makanan di luar untuk mereka.
Faisal menyendok nasi goreng dengan bersemangat. Dan melancarkan suapa demi suapan ke mulutnya dengan lahap. Sebaliknya dengan Kartika, ia menyuap nasi gorengnya terlalu perlahan.
“Kamu kenapa, Tika?” tanya Faisal kepada istrinya tanpa menghentikan kunyahannya. Perhatiannya seakan hanya kepada nasi goreng di hadapannya meskipun ia mengajukan pertanyaan pada istrinya. Dalam arti, pertanyaan itu bisa saja hanya basa-basi belaka.
Kartika diam sejenak sebelum menjawab.
“Aku memikirkan ucapan kamu semalam, Mas,” Jawab Kartika pelan. Sendok di tangannya berhenti berayun. Sebelum akhirnya diletakkan kembali ke atas piring yang masih nyaris penuh di hadapannya.
“Ya, kenapa? Ada masalah?” tanya Faisal acuh. Nasi di piringnya telah licin tandas. Ia menuang air putih, meminumnya dengan tiga kali tegukan besar, lalu mengelap sisi-sisi mulutnya dengan serbet. Barulah kemudian perhatiannya tertuju pada Kartika.
“Kamu yakin, Mas?” Kartika menatap suaminya dengan cemas.
“Tentang?”
“Mas, ga usah pura-pura. Tentang adopsi.”
“Oh. Yakin sekali.” sahut Faisal yang terlihat berancang-ancang mengangkat bokongnya dari kursi.
“Tapi buat apa mas?” sergah Kartika. Suaranya mendadak keras dan menuntut. Mencegah Faisal untuk berdiri. Berhasil memang. Faisal urung beranjak.
“Buat apa? Aku sudah bilang, aku ingin punya anak laki-laki.” Faisal melihat jam tangannya dan kali ini benar-benar beringsut dari kursinya.
“Tapi saya belum memberikan persetujuan! Kenapa kamu tiba-tiba ingin mengadopsi anak? Mas kan belum mendiskusikanya pada saya!” Kartika ikut bangkit.
Faisal sekali lagi berhenti. Dan menoleh pada istrinya yang terlihat berang.
“Kartika,” ucapnya dengan manis, sedikit pun tak terpengaruh dengan tensi darah istrinya yang pagi ini melonjak naik. “Apa saya minta persetujuanmu? Dan buat apa saya minta persetujuanmu? Toh mau ada anak lagi di rumah ini atau tidak, apa pedulimu? Lagi pula, gak akan berpengaruh untuk kamu juga kan? Kalau saya semalam gak bilang pun, saya rasa kamu gak akan tahu di rumah ini ada anak lain atau tidak.”
Kartika diam terpaku bagai mendapat tamparan keras di pipinya.
“Mas… kamu…” ia kehilangan kata-kata.
“Sudahlah Tika. Toh selama ini Aurel pun babysitter yang mengurus. Begitupun anak yang akan aku adopsi. Aurel butuh teman, Tika. Kasihan dia. Sudah ibunya tak bisa menemani, tak ada yang mengajaknya bermain. Sudahlah. Saya mau berangkat kerja.” Faisal berlalu meninggalkan istrinya yang masih diam kehabisan kata-kata.
Kartika terduduk dengan lesu. Kata-kata Faisal barusan benar-benar menikamnya. Apa memang ia sudah tak diperhitungkan lagi di rumah ini? Apa memang ia sama sekali tak berguna sebagai seorang istri dan seorang ibu? Oh Tuhan… diam-diam ia menyusut airmata yang muncul di sudut matanya.
****
“Assalamu’alaikum…” terdengar salam di pintu depan. Kartika yang tengah membereskan makan malam di meja bergegas menaruh piring-piring kotor ke tempat cuci.
“Biar aku yang buka ya, Tik,” Ujar Faisal. Malam itu Kartika memang pulang lebih awal. Belakangan ia memang membatasi jadwal kerjanya dengan menolak tawaran yang datang. Malah sudah beberapa hari Kartika tinggal di rumah setelah memulangkan Milah yang diberinya pesangon lima bulan gaji.
Tak lama kemudian Faisal membawa seseorang masuk, Nancy.
“Nancy?” sapa Kartika. Nancy menghampiri Kartika dan menyalaminya.
“Apa kabar kamu? Bagaimana perjalanannya?” Tanya Kartika dengan perhatian yang tulus. Kedatangan Nancy memang tak mengejutkan. Pasalnya Faisal memang telah menyuruh Nancy kembali dan pagi itu Nancy menelepon mengabarkan kedatangannya malam ini.
“Baik, Bu. Alhamdulillah lancar.” Jawabnya. Kartika mengamatinya sejenak. Nancy lebih gemuk sekarang. Tubuhnya lebih gempal namun agak kendor. Seperti orang yang kehabisan lemak dalam waktu singkat.
“Kamu gemukan, Nan,” ujar Kartika. Nancy menunduk malu.
“Iya, Bu. Saya banyak makan di kampung.” Jawabnya.
Kartika dan Faisal tersenyum.
“Ya sudah kamu ke kamar kamu, sana. Pasti lelah sekali menempuh perjalanan belasan jam,” kata Faisal.
“Iya, Pak.” Nancy menyeret koper kecil yang dibawanya menuju kamarnya yang dahulu. Terletak di belakang dapur.
“Oiya, Pak, Bu, sebelum saya tidur, saya mau lihat Aurel. Saya kangen sama Aurel. Boleh, Pak? Bu?” pinta Nancy menatap kedua majikannya penuh harap.
“Oh, boleh boleh…” sahut Faisal. Kartika pun tersenyum mengiyakan. Faisal dan Kartika membawa Nancy menuju kamar Aurel yang sedang tertidur lelap. Nancy memandangi Aurel dengan perasaan rindu. Tak berani menyentuhnya karena takut anak itu terbangun.
“Pak, Bu. Bapak bilang, ada satu anak lagi yang harus saya jaga?” Tanya Nancy hati-hati.
“Iya, Nan. Anak laki-laki. Namanya Pram. Kamu mau lihat?” tawar Kartika. Seorang babysitter perlu melihat bagaimana rupa anak asuhnya kan?
Mata Nancy berkilat aneh. Ia mengangguk antusias.
“Boleh, Bu…”
Kartika dan Faisal menuntun Nancy menuju kamar utama, dimana Pram ditempatkan. Kartika dan Faisal tak berani menempatkan Pram yang masih bayi jauh dari jangakauan. Maka Pram pun ditempatkan di kamar mereka. Anak bayi berusia satu bulan itu sedang tertidur lelap. Wajahnya tampak damai.
“Kasihan dia, Nan. Masih butuh asi. Tapi orangtuanya telah membuangnya ke panti.” Ujar Kartika. Anak itu telah diambil Faisal dari panti asuhan 3 hari sebelumnya.
“Saya janji akan merawatnya dengan baik, Bu…” ujar Nancy menatap lekat-lekat wajah anak itu. Kerinduan terpancar di wajahnya.
Faisal yang berdiri di ambang pintu, menatap Nancy penuh arti.
Kartika hanya mengangguk. Tak menyadari adanya kemiripan antara sang babysitter dengan sang bayi. Maupun kemiripan antara wajah sang bayi dengan suaminya. Lagi pula, terlalu banyak orang yang mempunyai kemiripan di dunia ini, bukan?


(Jakarta, 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar